Selasa, 02 Juni 2015

Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan


Wilayah Indonesia sering dikenal dengan negara kepulauan. Dengan luas laut 5.8 juta km2 Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam potensi sumberdaya perikanan dan kelautan. Laut Indonesia terbagi dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2.7 juta kmdan Laut Teritorial sebesar 3.1 juta km2. wilayah perairan laut Indonesia memiliki kandungan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hayati (ikan) yang berlimpah dan beraneka ragam.

Namun pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah yang lain sudah mencapai kondisi padat tangkap atau overfishing. Oleh karena itu peran IPTEK sangat sangat diperlukan disini, dimana tanpa adanya dukungan IPTEK yang handal akan sulit bagi nelayan untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan yang selama ini mengelilingi mereka. Salah satu teknologi yang dapat memberikan informasi kepada nelayan lokal mengenai wilayah perairan yang surplus ikan adalah teknologi penginderaan jauh atau remote sensing.
Penginderaan jauh mempunyai potensi untuk aplikasi bagi perikanan tangkap. Beberapa parameter yang diperlukan untuk analisis daerah potensial untuk penangkapan ikan dapat diperoleh dari penginderaan jauh, diantaranya suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil permukaan. Dari informasi sebaran suhu permukaan laut dapat diidentifikasi daerah upwelling dan front termal yang merupakan daerah potensi perikanan.

Konsentrasi klorofil permukaan menunjukkan tingkat kesuburan perairan di mana daerah yang subur merupakan daerah potensi perikanan. Analisis pola sebaran dan nilai suhu dan konsentrasi klorofil permukaan menghasilkan informasi zona potensi penangkapan ikan yang selanjutnya dapat diaplikasikan sebagai acuan bagi nelayan dalam operasi penangkapan ikan. peristiwa naiknya air dari dasar laut ke permukaan sebagai perbedaan gradien suhu yang yang dinamakan Upwelling. Maka daerah Upwelling tersebut biasanya terdapat klorofil yang merupakan makanan ikan dan diduga daerah tersebut terdapat banyak ikan yang disebut daerah fishing ground.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sudah sejak tahun 1986 melakukan penelitian pemanfaatan data satelit penginderaan jauh guna mengkaji dan memantau beberapa jenis parameter fisik perairan laut, seperti suhu permukaan laut (SPL), kekeruhan air, dan sebaran/konsentrasi klorofil-a. Pada tahun 1990 dilaksanakan aplikasi data inderaja untuk penentuan daerah potensi tambak, tahun 2000-2001 dilaksanakan pemetaan terumbu karang di seluruh wilayah Indonesia, dan sejak tahun 2002 dilaksanakan aplikasi informasi spasial ZPPI berdasarkan data satelit inderaja untuk mendukung usaha peningkatan hasil tangkapan ikan oleh para nelayan. Sampai sekarang, produksi informasi ZPPI masih terus dilakukan dan disebarkan ke seluruh Indonesia melalui Dinas-dinas Kelautan dan Perikanan di berbagai daerah





Gambar 4. Informasi ZPPI Harian yang dibagi menjadi 24 Project Area(PA), PA 12 (atas) dan PA 13 (bawah).

Lokasi tempat berkumpulnya ikan dapat ditentukan dengan kombinasi antara lokasi klorofil, suhu permukaan laut, pola arus laut, cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air. Terdapat beda suhu di seantero muka laut. Hal ini disebabkan oleh naiknya lapisan air laut di sebelah bawah ke atas (upwelling) karena perbedaan suhu. Kenaikan lapisan air ini juga membawa zat makanan bagi kehidupan di laut. Jadi dengan mendeteksi upwelling akan dapat pula memberi petunjuk akan adanya ikan. Di samping itu setiap jenis ikan memiliki zona suhu yang tertentu sebagai habitatnya. Satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh.

Dengan demikian, penggunaan teknologi penginderaan jauh satelit (Inderaja) khususnya satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer) dipadu dengan data oseanografi, data cuaca dan tingkah laku ikan, didukung dengan metode pengolahan dan analisis yang teruji akurasinya, merupakan satu alternatif yang sangat tepat dalam mempercepat penyediaan informasi zona potensi ikan harian untuk keperluan inventarisasi dan evaluasi potensi kelautan.

Data utama yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR adalah suhu permukaan laut yang selanjutnya disingkat dengan SPL. Pengamatan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan data NOAA-AVHRR, berkaitan dengan fenomena oseanografi khususnya monitoring fenomena upwelling / thermal front harus dilakukan dengan menggunakan data NOAA-AVHRR karena tidak memerlukan data dengan resolusi spasial yang tinggi mengingat wilayah perairan laut yang sangat luas, tetapi memerlukan resolusi temporal (repetitive time) yang cukup tinggi misalnya setiap 4 jam. Suhu permukaan laut merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan bagi keberadaan dan fenomena sumberdaya hayati laut dan dinamikanya. Pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan, atau tahunan). Citra suhu permukaan laut (SPL) dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan thermal front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan.



Masalah yang umum dihadapi adalah keberadaan daerah penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu berubah / berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai, sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan. Dengan demikian daerah potensi penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan. Kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan. Salah satu cara untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah melalui studi daerah penangkapan ikan dan hubungannya dengan fenomena oseanografi secara berkelanjutan.(Priyanti, 1999).

Pengukuran kondisi atau faktor oseanografi perairan dilakukan dengan cara :

Suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap jam di lokasi penangkapan ikan. Pengukuran suhu permukaan laut digunakan untuk verifikasi perhitungan suhu dari satelit NOAA. Jadwal lintasan satelit NOAA diperoleh dari prediksi orbit dari stasiun NOAA.

Salinitas
Salinitas diukur pada saat penangkapan di lokasi ZPPI.

Arus permukaan
Arus permukaan diukur di lokasi penangkapan ikan, baik arah maupun kecepatannya

Kedalaman perairan, kondisi laut, cuaca
Ketiga parameter tersebut diukur di lokasi ZPPI pada saat penangkapan ikan dilakukan. Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan fish finder


Sumber : 
http://perpustakaandinaskelautandanperikanan.blogspot.com

Gathot Winarso, M. Rokhis Khomarudin, Syarif Budhiman, dan Maryani Hartuti, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN (2012). APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM KEMARITIMAN.

Minggu, 24 Mei 2015

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih17.508 pulau. Pulau-pulau yang ada di Indonesia didominasi oleh pulau dengan pulau kecil (luas kurang dari 2.000 km dan pulau sangat kecil (luas kurang dari 100 km dan atau memiliki lebar kurang dari 3 km). Hal yang sama dikemukakan oleh Kodoatie (2012) yang menyebutkan bahwa dari 17.508 pulau yang ada di Indonesia, 5 pulau memiliki luas > 10.000 km 26 pulau memiliki luas antara 2.000-10.000 km dan sisanya sejumlah 17.477 (99,8%) merupakan pulau dengan luas < 2.000 km (pulau kecil dan sangat kecil).
Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.



Permasalahan pulau-pulau kecil di Indonesia
Pulau-pulau kecil biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Ada beberapa kondisi yang membahayakan keutuhan wilayah jika terjadi pada pulau-pulau kecil, diantaranya :
Ø  Hilangnya pulau secara fisik akibat abrasi, tenggelam, atau karena kesengajaan manusia.
Ø  Hilangnya pulau secara kepemilikan, akibat perubahan status kepemilikan akibat pemaksaan militer atau sebagai sebuah ketaatan pada keputusan hukum seperti yang terjadi pada kasus berpindahnya status kepemilikan Sipadan dan Ligitan dari Indonesia ke Malaysia
Ø  Hilang secara sosial dan ekonomi, akibat praktek ekonomi dan sosial dari masyarakat di pulau tersebut. Misalnya pulau yang secara turun temurun didiami oleh masyarakat dari negara lain.


Hal yang dapat dilakukan untuk mengelola pulau-pulau kecil
1.      Pembuatan kawasan wisata dan riset
Indonesia terkenal akan “megabiodiversitas”-nya di dunia, kekayaan kultur budaya dan kekayaan sumberdaya alam hayati dan non-hayatinya, terutama wilayah pesisir. Keadaan ini sudah barang tentu seharusnnya dapat dijadikan sebagai “senjata” pamungkas dalam aktifitas pemberdayaan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Manfaat yang diperoleh dari kekayaan tersebut dirasakan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung manusia atau masyarakat Indonesia dapat mengeksploitasi dan mengeksplorasi-nya langsung dialam, sesuai profesi mereka masing-masing, entah itu nelayan, akademisi maupun pengusaha. Secara tidak langsung, masyarakat Indonesia memperolehnya melalui kegiatan pemerintah dalam mengelola sumberdaya pesisir tersebut, dengan pembentukan kawasan lindung atau bahkan membuat promosi objek wisata.
Salah satu bentuk rencana yang akan direkomendasikan dalam legalitas wilayah kepulauan Indonesia, atau penjagaan terhadap pulau-pulau terluar yang berpotensi konflik antar negara adalah dengan membangun dan mengembangan kawasan “milik Indonesia”. Pembangunan dan pengembangan yang direkomendasikan mengingat potensi sumberdaya pesisir yang begitu besar dan kultur budaya yang beranekan ragam baik bahasa, kuliner, pakaian dan sebagainya, adalah dengan membuat suatu “Kawasan Wisata dan Riset Indonesia”.

2.      Membangun akses menuju pulau-pulau terdepan
Pulau-pulau terdepan Indonesia  memiliki koordinat titik letak geografis yang sudah tentu jauh dengan pusat pemerintahan Indonesia, hal ini menyebabkan pulau-pulau terdepan terlihat “asing” di negeri sendiri, dimana akses informasi yang sulit masuk, kemudian akses transportasi yang masih sangat minim. Hal ini tidak hanya terjadi di pulau-pulau terdepan Indonesia, bahkan pulau-pulau atau bahkan daerah kecil yang sedikit lebih dekat dengan pemerintah pusat saja masih banyak yang belum mendapatkan informasi dengan baik dan mudah.
Mengenai hal tersebut, sangat membuktikan bahwa “aksesibility” atau pemerataan sarana dan prasarana yang diberikan pemerintah kepada rakyat belum merata mengingat bertentangan dengan sila kelima pancasila “keadilan bagi seluruh rakyat indonesia”. Pulau-pulau terdepan sebagai garda depan pertahanan Indonesia sudah sangat dipastikan membutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah pusat, baik dari segi informasi hingga pembangunan kawasan wilayah dan SDM.
Berharap dengan terciptanya aksesibility yang memadai membuat pemerintah tidak beralasan untuk tidak memperhatikan kondisi pulau-pulau terdepan Indonesia, sehingga tidak akan ada lagi kata-kata “pencaplokan pulau terdepan Indonesia oleh negara asing”.

3.    Program Kuliah Kerja Lapang Universitas
Program kuliah kerja lapang merupakan agenda rutin yang dimiliki oleh perguruan tinggi.  Pada dasarnya program KKL mengirim sejumlah mahasiswa ke daerah-daerah tertentu untuk mengaplikasikan ilmu dan kemampuan teknologi yang telah diperoleh dari bangku kuliah kepada masyarakat yang berada pada daerah tersebut.
Menyikapi permasalahan khususnya dalam hal pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau terluar Indonesia, maka sudah sepantasnya pihak akademisi berkewajiban dalam mendukung dan membantu setiap permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.  Sebagai salah satu bentuk partisipasi pihak akademisi yaitu dengan melakukan pengiriman mahasiswa KKL ke daerah pulau-pulau terluar Indonesia.
Melalui pengiriman mahasiswa KKL, ada beberapa target utama yang bisa dicapai yaitu :
1.      Adanya sharing ilmu dan pengetahuan mahasiswa dengan masyarakat setempat (pulau terluat tersebut).
2.      Adanya pendampingan mahasiswa dalam memberikan petunjuk dan arahan kepada masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada sehingga dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tersebut.
3.      Meningkatkan kekerabatan dan saling memiliki antara masyarakat dengan mahasiswa KKL.
Lebih jauh melalui pengiriman mahasiswa KKL, masyarakat setempat akan merasa lebih dekat dan diperhatikan oleh pemerintah sehingga menimbulkan dan meningkatkan rasa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.  Dampak positifnya, masyarakat setempat akan lebih mengenal bangsanya dan tentu saja akan mempertahankannya apabila ada pengaruh ataupun interfensi dari pihak luar yang berusaha mengganggu kedaulatan Indonesia.  Bagi mahasiswa, akan meningkatkan pengetahuan, perhatian dan kesadaran arti penting wawasan nusantara.
Pengiriman mahasiswa KKL dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi awal dalam mengetahui potensi daerah pulau-pulau terluar.  Melalui laporan akhir KKL dapat diketahui secara pasti kondisi, potensi sumberdaya alam serta kebutuhan real masyarakat pada  daerah tersebut.  Lebih jauh, laporan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan petimbangan dalam menentukan kebijakan ataupun strategi yang dipromosikan oleh pihak akademisi untuk menjadi masukan kepada pemerintah sehingga harapannya program-program pemberdayaan masyarakat dalam upaya pembangunan pulau-pulau terluar didukung secara penuh oleh pemerintah.

Kesimpulan

Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia memang sudah sepantasnya dilakukan oleh pemerintah. Mengingat bahwa Negara Indonesia memiliki ribuan pulau-pulau kecil yang tentunya masing-masing pulau memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap kondisi pulau-pulau kecil harus dilakukan agar pemanfaatan dan pengelolaan pulau-pulau kecil di Iindonesia dapat dilakukan secara maksimal sehingga masyarakat pun dapat merasakan manfaatnya.

Minggu, 22 Maret 2015

Ekosistem Pesisir Indonesia



Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 18.306 dan garis pantai terpanjang nomor empat di dunia, yaitu sepanjang 95.181 km. Populasi penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir mencapai 161 juta jiwa atau 60% dari 250 juta penduduk Indonesia. Pusat perkembangan ekonomi juga berkembang di kawasan pesisir. Sayangnya, tingkat pendidikan dan kesejahteraan populasi penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir dan pulau kecil merupakan yang terendah.

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai sumber daya hayati yang tinggi. Kontribusi sumberdaya hayati pesisir saat ini terbanyak untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat dari perikanan pesisir dan laut. Kebijakan pengembangan ekonomi padat karya dan berbasis bahan baku serta ekstraktif, menimbulkan kerusakan kawasan pesisir dan pulau kecil akibat kegiatan penambangan mineral, bahan baku konstruksi, reklamasi untuk infrastruktur baru, budidaya perikanan pesisir dan lain-lain. Kegiatan ini sangat mengancam kelestarian dan daya dukung hutan pesisir mangrove, terumbu karang, serta pulau pulau kecil yang merupakan sumber kehidupan masyarakat pesisir sejak lama.

Melihat proyeksi ancaman potensial masa depan serta potensi keragaman hayati yang besar di kawasan pesisir, suatu strategi pendekatan program dengan upaya dukungan kepada masyarakat untuk berdaya dalam mengelola kawasan ekosistem pesisir pulau kecil perlu diambil.

Pengembangan program ketahanan dan diversifikasi pangan menjadi sangat krusial mengingat sumber tradisional protein hewani dari hasil perikanan merupakan sumber pangan yang murah dan melimpah. Pemanfaatan sumber pangan baru dari berbagai sumber daya pesisir yang belum tergali dan bernilai tinggi seperti golongan crustacea, molusca, vertebrata serta vegetasi mangrove, nipah dan sagu perlu digali dan dikembangkan dengan menggunakan tehnologi dan sains.

Selain berpotensi mengembangkan sumber pangan baru, kawasan pesisir juga menyediakan potensi sumber energi terbaharukan dari biomassa mangrove, produk turunan sagu dan nira nipah yang dapat diolah menjadi bioetanol yang melimpah dan siap dimanfaatkan. Hutan pesisir banyak ditumbuhi berbagai jenis species mangrove, bersama dengan hamparan nipah dan sagu yang sangat luas selama ini masih terbatas pemanfaatannya, sehingga dianggap kurang bermanfaat dan cenderung dialihfungsikan menjadi peruntukan lain.

Berbagai potensi bahan kimia dari hasil metabolisme organism laut dapat diekstrak dan disintesa untuk dikembangkan menjadi antibiotika, serta substansi dengan properti anti inflamasi dan anti kanker yang selama ini belum bisa dibuat oleh manusia. Dalam konteks meningkatkan kesehatan dan gizi masyarakat, sumber daya laut merupakan komoditi yang beragam, melimpah dan murah.
Ekosistem pesisir dan pulau kecil diciptakan sangat ideal untuk melindungi kawasan tersebut dari ancaman. Hutan sagu, nipah dan mangrove merupakan filter alami penyaring sedimentasi dari darat sehingga melindungai kawasan lamun dan terumbu karang yang rentan terhadap sedimentasi dari kerusakan. Sebaliknya, ancaman intrusi air laut ke darat juga bisa disaring oleh ekosistem hutan mangrove, nipah dan sagu pesisir, sehingga sumber air bersih sumur masyarakat, lahan pertanian dan sawah di pesisir yang merupakan sumber kehidupan masyarakat tidak terganggu.

Fokus program pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil adalah:
  1. Pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk kemandirian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan program utama meliputi:
    • Pengelolaan lestari kawasan pesisir dan laut, revitalisasi pesisir, pemanfaatan keanekaragaman hayati pesisir dan pantai, serta usaha budidaya dan penerapan teknologi tepat guna untuk memberi nilai tambah hasil sumberdaya pesisir dan pantai.
    • Pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir dan laut untuk sumber energi terbarukan untuk pengembangan model kemandirian energi di Pulau-pulau Kecil.
    • Pengembangan potensi ekowisata wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
    • Pengembangan usaha kecil penyediaan bahan baku obat berbasis keanekaragaman hayati pesisir dan pantai.
    • Sanitasi dan pemeliharaan kawasan sumber air bersih.
  2. Rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan program utama meliputi :
    • Rehabilitasi dan revitalisasi ekosistem mangrove pesisir untuk meningkatkan produktivitas ekosistem mangrove sebagai penyedia sumber pangan masyarakat pesisir.
    • Pemanfaatan keanekaragaman hayati ekosistem pesisir untuk energi alternatif.
    • Rehabilitasi terumbu karang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
    • Peningkatan kualitas lingkungan dan kesadaran hidup sehat, rumah sehat, pencegahan penyakit di desa pesisir

KONDISI PESISIR PANTAI INDRAMAYU



Wilayah pesisir Indramayu Jawa Barat dengan panjang garis pantai lebih kurang 114 km merupakan salah satu daerah pantai utara Jawa Barat yang sangat strategis dan berkembang dalam aktivitasnya sebagai daerah penyangga kawasan industri yang mempunyai sumberdaya alam dan jalur infrastruktur transportasi  utama Cirebon ke Jakarta. Wilayah ini sebagai kawasan pantai dengan panorama indah dan menarik serta sumber biota laut yang melimpah mempunyai kegiatan ekonomi yang cukup tinggi. 

Kegiatan pemanfaatan lahan untuk pertambakan dengan cara pembabatan hutan lindung, seperti mangrove, telah memacu abrasi pantai makin intensif terutama hampir di sepanjang pantai perbatasan Jawa Tengah –Jawa Barat sampai daerah pantai Krawang. Pembukaan hutan lindung ini mengakibatkan kondisi pantai menjadi tidak stabil terhadap arus pantai. Kondisi ini tentunya akan merubah aliran arus pantai dan arus ini akan mengikis wilayah yang kurang stabil.

 

Gambaran umum
Wilayah pesisir Indramayu Jawa Barat dengan panjang garis pantai lebih kurang 114 km merupakan salah satu daerah pantai utara Jawa Barat yang sangat strategis dan berkembang dalam aktivitasnya sebagai daerah penyangga kawasan industri yang mempunyai sumberdaya alam dan jalur infrastruktur transportasi  utama Cirebon ke Jakarta. Wilayah ini sebagai kawasan pantai dengan panorama indah dan menarik serta sumber biota laut yang melimpah mempunyai kegiatan ekonomi yang cukup tinggi. 

Kegiatan pemanfaatan lahan untuk pertambakan dengan cara pembabatan hutan lindung, seperti mangrove, telah memacu abrasi pantai makin intensif terutama hampir di sepanjang pantai perbatasan Jawa Tengah –Jawa Barat sampai daerah pantai Krawang. Pembukaan hutan lindung ini mengakibatkan kondisi pantai menjadi tidak stabil terhadap arus pantai. Kondisi ini tentunya akan merubah aliran arus pantai dan arus ini akan mengikis wilayah yang kurang stabil.  
Sedimentasi yang membentuk tanah timbul mengakibatkan kepemilikan tanah yang tidak legal. Sebaliknya, kerusakan wilayah pantai akibat abrasi pada daerah-daerah yang kurang stabil terhadap erosi  air laut, menyebabkan lahan menjadi kritis sehingga merusak infrastruktur jalan (Pemda Kabupaten Indramayu, 1995).

Proses erosi pantai (abrasi) di daerah Indramayu berlangsung cukup kuat, sehingga garis pantai telah mundur jauh dari garis pantai lama dan sudah mendekati jalan raya Indramayu – Jakarta, yang pada saat ini bersisa jarak hanya kurang lebih 100 meter dari tepi laut.

Garis pantai pada umumnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan alam seperti adanya aktivitas gelombang, angin, pasang surut dan arus serta sedimentasi daerah delta sungai. Perubahan garis pantai juga terjadi akibat gangguan ekosistim pantai seperti pembuatan tanggul dan kanal serta bangunan-bangunan yang ada di sekitar pantai. Hutan bakau sebagai penyangga pantai banyak dirubah fungsinya untuk dijadikan sebagai daerah pertambakan, hunian, industri dan daerah reklamasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan garis pantai.

Daratan dan sedimen pesisir pada dasarnya dinamis bergerak menurut dimensi ruang dan waktu. Gelombang pecah, arus pasang surut, sungai, tumbuhan pesisir dan aktivitas manusia merupakan faktor yang menimbulkan perubahan dinamika pantai untuk membentuk suatu keseimbangan pantai yang baru. Tidak setiap kawasan pesisir dapat merespon  seluruh proses perubahan, tergantung pada beberapa faktor seperti jenis sedimen, morfologi dan kondisi geologi pantainya.

Gejala perubahan garis pantai perlu mendapat perhatian mengingat berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan lingkungan. untuk mengetahui kemungkinan pemanfaatan lahan wilayah pesisir Indramayu secara optimal.

Proses Geologi yang  sedang berlangsung
Proses-proses geologi yang sedang berlangsung dapat ditafsirkan dari peta geologi kuarter (Rimbaman, dkk, 2002 dan Suparan, dkk, 2000) antara lain :
a.Proses pembentukan endapan dataran banjir yang menutupi sebagian besar wilayah bagian utara.
b.Proses pelamparan daratan ke arah laut, diperlihatkan oleh terjadinya endapan laut muda dan endapan dataran banjir di atas endapan laut, membentuk delta Sungai Cimanuk.
c.Proses abrasi di daerah pantai Eretan, yang diperlihatkan oleh bentuk garis pantai dan endapan yang relatif tua, yang tidak tertutupi endapan dataran banjir.

Perubahan Garis Pantai
Garis pantai pada umumnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan alam seperti adanya aktivitas gelombang, angin, pasang surut dan arus serta sedimentasi daerah delta sungai. Perubahan garis pantai juga terjadi akibat gangguan ekosistim pantai seperti pembuatan tanggul dan kanal serta bangunan-bangunan yang ada di sekitar pantai. Hutan bakau sebagai penyangga pantai banyak dirubah fungsinya untuk dijadikan sebagai daerah pertambakan, hunian, industri dan daerah reklamasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan garis pantai.

Perkembangan garis pantai berdasarkan pola sedimentasi di pantai utara Jawa Barat kemungkinan akan menyebabkan terbentuknya  beberapa sumenanjung dan teluk.  Pola sedimentasi mulai dari  Cilamaya Pamanukan sampai dengan Indramayu ditafsirkan berdasarkan data geologi kuarter memperlihatkan adanya pergerakan maju (progradasi) dan abrasi .

Pantai abrasi di wilayah pesisir pada umumnya mempunyai dampak negatif, karena mengakibatkan lahan menjadi berkurang, sedangkan pantai akresi mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positif, adalah semakin bertambahnya lahan tambak dan lahan pertanian di daerah tersebut. Sedangkan dampak negatif adalah terjadinya pendangkalan alur sungai yang mengakibatkan kapal-kapal nelayan kesulitan untuk memasuki sungai. Pendangkalan juga terjadi di laut yaitu di  sekitar dermaga atau pelabuhan yang dapat mengganggu kegiatan kapal nelayan keluar masuk pelabuhan.


Peta perubahan garis pantai menunjukkan  adanya kaitan antara faktor alam dan tingkah laku manusia setempat sebagai penyebab terjadinya perubahan garis pantai (abrasi dan akresi), al ini  dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut :
1.Sifat dataran pantai yang masih muda dan belum seimbang, di pantai Eretan yang diperlihatkan oleh bentuk garis pantai. Kondisi lahan sudah mengalami abrasi  mendekati jalan raya Jakarta Cierebon sejauh tinggal beberapa puluh meter saja dari badan jalan raya.
2.Demikian juga pantai wisata Tirtamaya, memiliki kondisi tegak lurus terhadap kedatangan angin dan gelombang laut, sehingga  banyak bangunan pantai yang hilang, juga perlindungan pantai yang ada juga sudah mulai terkikis air laut.
3.Kehilangan perlindungan pantai, yaitu hutan bakau yang hilang oleh  terpaan gelombang.
4.Pendangkalan sungai yang mengakibatkan kapal-kapal nelayan mengalami kesulitan untuk keluar masuk sungai. Penataan DAS di daerah hulu dengan pemanfaatan lahan tidak ditata dengan baik akan mengakibatkan pendangkalan di daerah hilir.
5.Perusakan perlindungan pantai alami akibat penebangan pohon bakau untuk pembukaan lahan baru  sebagai kawasan pertambakan ikan/udang. Pembukaan lahan ini dilakukan karena tuntutan pengembangan usaha dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
6.Perubahan keseimbangan transportasi sedimen sejajar pantai akibat pembuatan perlindungan pantai, seperti pembuatan jetty, pemecah gelombang, pembangunan pelabuhan di kawasan industri perminyakan Balongan, dengan melalui kegiatan reklamasi pantai.

Kondisi pantai abrasi dan pantai akresi di daerah pesisir Indramayu (Gambar 2), pantainya ditempati oleh alluvium, hal ini disebabkan oleh banyaknya sungai yang bermuara di daerah penelitian. Pada umumnya daerah ini mempunyai daya dukung terhadap energi gelombang sangat kecil. Proses abrasi di daerah penelitian  terjadi di sepanjang pantai eretan, pada saat ini sudah pada tingkat penanganan yang serius, mengingat daerah pantai Eretan merupakan daerah padat dengan berbagai infrastruktur seperti jalan raya pantai utara Jakarta- Cirebon yang mempunyai jarak dari pantai tinggal beberapa puluh meter saja, kawasan pemukiman dan rencana pengembangan sarana transportasi. Bangunan penahan abrasi yang ada sekarang sudah mulai bergerak ke arah darat dan telah banyak memakan korban seperti rumah penduduk, lahan pertanian dan pertambakan.

Penggunaan Lahan Pantai Abrasi dan Akresi
Secara rinci daerah penggunaan lahan wilayah pesisir pantai Indramayu mempunyai sifat-sifat lahan sebagai berikut :
1.Lahan hutan bakau/konservasi, bersifat kultural untuk perlindungan dan pelestarian alam
2.Lahan industri termasuk pertambakan ikan dan udang, karena sifat permukaan yang datar serta posisi geografi memberikan kemudahan bagi pengembangan industri. Transportasi barang dan orang melalui air (laut dan sungai) dapat menekan biaya produksi.
3.Lahan pemukiman, karena perkembangan industri, perdagangan, pertanian dan kegiatan lainnya akan menarik manusia untuk tinggal menetap dan mencari nafkah.
4.Lahan pertanian, endapan dataran banjir yang menutupinya merupakan endapan yang subur untuk dimanfaatkan sebagai tanah pertanian.
5.Lahan wisata, sehubungan dengan keindahan alam pantai dan kebutuhan rohani manusia.
6.Lahan untuk kebutuhan infrastruktur, sebagai akibat pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir.

Secara keseluruhan Rencana Tata Ruang diharapkan dapat mewujudkan keterkaitan antar kegiatan dengan memanfaatkan ruang dalam kurun waktu 10 tahun mendatang yang terdiri dari Kawasan Lindung dan Kawasan budidaya.Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan untuk pembangunan berkelanjutan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama membudidayakan berdasarkan keadaan dan potensi sumberdaya alam dan manusia.  Kawasan budidaya  meliputi Kawasan pertanian, Kawasan hutan produksi, Kawasan pemukiman, Kawasan Industri dan Kawasan wisata.

Pemanfaatan daerah  dengan lahan bertambah (akresi) untuk pengembangan usaha seperti kawasan pertambakan ikan perlu ditata sedini mungkin untuk untuk mencegah terjadinya konfllik dengan adanya lahan baru/tanah timbul, jika memungkinkan perlu dibuat Peraturan Pemerintah Daerah tentang penggunaan lahan baru/tanah timbul di daerah akresi.

Untuk daerah dengan potensi pengembangan rendah dan  tidak dipakai sebagai masukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah agar  dimanfaatkan secara optimal sesuai peruntukannya bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat.

Pengaruh sedimentasi dari sungai akan menyebabkan pendangkalan di sekitar muara sungai tempat keluar dan masuk kapal nelayan dan menimbulkan penambahan lahan disekitar sungai.Optimisasi pemanfaatan lahan terutama lahan bertambah maju umumnya untuk pengembangan usaha industri perikanan seperti pertambakan dan pengembangan daerah pelabuhan perikanan.