Indonesia
adalah Negara maritim dengan wilayah perairan 60% dari seluruh luas wilayah
Indonesia. Dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan luas lautan 3.257.483 km² menjadikan sebagian besar masyarakat Indonesia
berkegiatan di wilayah Pesisir. Banyaknya masyarakat yang tinggal di wilayah
pesisir rmenjadi tugas dari pemerintah
untuk mengatur dan mengelola kawasan pesisir dengan baik. Untuk itu dibuatlah
Undang-Undang no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (UU PWP-PPK).
Namun dalam pelaksanaannya terdapat
berbagai macam pelanggaran. Oleh karena itu dilakukan beberapa perubahan
terhadap UU no 27 tahun 2007. Perubahan tersebut kemudian disahkan menjadi UU
no 1 tahun 2014. Berikut pasal-pasal yang mengalami perubahan dari UU
no 27 tahun 2007 :
Pasal 1
·
Ayat 1
Terjadi
penambahan kata ‘pengoordinasian’ dan perubahan kata dari ‘masyarakat’ menjadi
‘rakyat’. Hal ini bertujuan untuk mempertegas bahwa pengelolaan pesisir
dilakukan untuk kepentingan rakyat dan agar terjadi koordinasi antar elemen
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan rakyat.
Sehingga pasal 1 ayat 1 UU no 1 tahun 2014
berbunyi :
“Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.”
·
Ayat 17
Terjadi perbaikan struktur kalimat. Hal ini bertujuan untuk memperjelas
maksud kalimat pada ayat tersebut.
Sehingga pasal 1 ayat 17 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Rencana
Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan
pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan
dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya
menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.”
·
Ayat 18
Terjadi perubahan dari Ayat 18 yang sebelumnya membahas tentang hak-hak
pemanfaatan dan penguasaan perairan pesisir, pada UU no 1 tahun 2014 menjadi
membahas tentang izin lokasi untuk pemanfaatan ruang perairan pesisir. Selain
itu ayat 18 dibuat menjadi 2 bagian
yaitu ayat 18 dan ayat 18A.
Sehingga pasal 1 ayat 18 dan 18A
UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
18. “Izin
Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan
sebagian pulau-pulau kecil.”
18A. “Izin
Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan
sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.”
·
Ayat 19
Terjadi perubahan kata dari kata ‘perlindungan’ menjadi kata
‘pelindungan’. Hal ini dilakukan untuk menyempurnakan kata agar sesuai dengan
EYD.
Sehingga pasal 1 ayat 19 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Konservasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.”
·
Ayat 23
Terjadi perubahan dari ‘Orang’ menjadi ‘Setiap Orang’. Hal ini
dimaksudkan untuk memperjelas pelaku reklamasi adalah setiap orang dan bukan
perseorangan tertentu saja.
Sehingga pasal 1 ayat 23 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi
dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.”
·
Ayat 26
Terjadi perubahan dari ‘Orang’ menjadi ‘Setiap Orang’.
Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas kejadian bencana alam dapat diakibatkan
oleh setiap orang dan bukan perseorangan tertentu saja.
Sehingga pasal 1 ayat 26 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Bencana
Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap
Orang yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa,
harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”
·
Ayat 27A
Ayat 27A adalah penambahan ayat dari ayat 27. Ayat ini
dituliskan untuk memperjelas tentang dampak besar terjadinya perubahan fungsi
lingkungan dalam cakupan yang luas dan pengaruhnya terhadap masyarakat dan
lingkungan.
Sehingga pasal 1 ayat 27A UU no 1 tahun 2014 berbunyi
:
“Dampak
Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang
berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan
dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi
yang akan datang.”
·
Ayat 28
Terjadi perubahan dari ‘Orang’ menjadi ‘Setiap Orang’.
Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas pencemaran pesisir dapat terjedi akibat
kegiatan setiap orang dan bukan perseorangan tertentu saja.
Sehingga pasal 1 ayat 27A UU no 1 tahun 2014 berbunyi
:
“Pencemaran
Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang
sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.”
·
Ayat 29
Terjadi pengurangan kata dari ‘program-program’
menjadi ‘program’. Hal ini untuk membuat kalimat menjadi efektif dan sesuai
EYD.
Sehingga pasal 1 ayat 29 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Akreditasi
adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi
standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang
dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.”
·
Ayat 30
Terjadi pengurangan kata dari ‘Masyarakat Pesisir’
menjadi ‘Masyarakat’. Hal ini dimaksudkan agar semua masyarakat dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir, tidak hanya masyarakat pesisir
saja.
Sehingga pasal 1 ayat 30 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Pemangku
Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan
modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan
Masyarakat.”
·
Ayat 31
Terjadi pengurangan kata
dari ‘Masyarakat Pesisir’ menjadi ‘Masyarakat’. Hal ini dimaksudkan agar semua
masyarakat berhak mendapatkan pemberdayaan dan pemberian fasilitas, tidak hanya
masyarakat pesisir saja.
Sehingga pasal 1 ayat 31 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Pemberdayaan
Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada
Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik
dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.”
·
Ayat 32
Terjadi perubahan kata dari
‘Masyarakat Adat’ menjadi ‘Masyarakat Hukum Adat’ lalu penambahan kata ‘Masyarakat
Tradisional’. Hal ini dimaksudkan agar hukum adat masih berlaku di wilayah
pesisir seluruh Indonesia. Penambahan kata Masyarakat Tradisional berjutuan
untuk memasukkan Masyarakat Tradisional dalam klasifikasi masyarakat.
Sehingga pasal 1 ayat 32 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Masyarakat
adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal,
dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.”
·
Ayat 33
Terjadi perubahan penjelasan
pada ayat ini. Ayat ini menjelaskan tentang Masyarakat Hukum Adat dari yang
sebelumnyta menjelaskan tentang Masyarakat Adat.
Sehingga pasal 1 ayat 33 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Masyarakat
Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber
daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di
wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
·
Ayat 38
Terjadi perubahan dari
‘Orang’ menjadi ‘Setiap Orang’. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas maksud
dari kata ‘Setiap Orang’ yang disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya.
Sehingga pasal 1 ayat 38 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Setiap
Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.”
·
Ayat 44
Terjadi perubahan penjelasan
tentang tugas menteri.
Sehingga pasal 1 ayat 44 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan.”
Pasal 14
·
Ayat 1
Terjadi perubahan pada ayat
1 yaitu keuikutsertaan Masyarakat dalam penyusunan RSWP-3 K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan
RAPWP-3-K.
Sehingga pasal 14 ayat 1 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Usulan penyusunan RSWP-3-K,
RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat,
dan dunia usaha.”
·
Ayat 7
Terjadi penambahan kata
‘maka’ agar memenuhi kaidah EYD.
Sehingga pasal 14 ayat 7 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Dalam hal tanggapan dan/atau
saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud
diberlakukan secara definitif.”
Bagian Kesatu
Judul
Bagian Kesatu pada Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Bagian Kesatu
Izin”
Pasal 16
Terjadi
perubahan dari HP-3 menjadi izin lokasi. Hal ini ditujukan agar menjadi lebih
jelas dan lebih sederhana mengenai hak-hak pengusahaan permukaan laut.
Sehingga
pasal 16 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Setiap
Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan
pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin
Lokasi.
(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan.
Pasal 17
Terjadi
perubahan dari HP-3 menjadi izin lokasi. Hal ini ditujukan agar menjadi lebih
jelas dan lebih sederhanamengenai hak-hak pemanfaatan pesisir.
Sehingga
pasal 17 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2)
Pemberian
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan
kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan
tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
(3)
Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu
tertentu.
(4)
Izin
Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut,
kawasan pelabuhan, dan pantai umum.”
Pasal 18
Terjadi
perubahan dari HP-3 menjadi izin lokasi. Ayat ini menjelaskan pemegan izin
lokasi.
Pasal
18 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Dalam hal pemegang Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai
sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi.”
Pasal 19
Terjadi
perubahan dari HP-3 menjadi izin lokasi. Ayat ini menjelaskan kegiatan
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pemilik izin lokasi.
Pasal
19 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Setiap
Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a.
produksi
garam;
b.
biofarmakologi
laut;
c.
bioteknologi
laut;
d.
pemanfaatan
air laut selain energi;
e.
wisata
bahari;
f.
pemasangan
pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g.
pengangkatan
benda muatan kapal tenggelam,
wajib
memiliki Izin Pengelolaan.
(2)
Izin
Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam
hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 20
Terjadi
perubahan dari HP-3 menjadi izin lokasi. Ayat ini menjelaskan mengenai
pemberian izin lokasi.
Pasal
20 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang
melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”
Pasal 21
Terjadi
penghilangan kata HP-3. Ayat ini menjelaskan mengenai pemanfaatan ruang dan
sumber daya pesisir.
Pasal
21 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1) Pemanfaatan ruang dan sumber daya
Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum
Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat
setempat.
(2) Pemanfaatan ruang dan sumber daya
Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 22
Terjadi
penghilangan kata HP-3. Ayat ini menjelaskan kepemilikan izin lokasi. Pada
pasal 22 juga terdapat penambahan yaitu pasal 22A, 22B, dan 22C.
Pasal
22 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1) Kewajiban memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) dikecualikan
bagi Masyarakat Hukum Adat.
(2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22A
Ayat
ini menjelaskan pemberian izin lokasi.
Pasal
22A UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan
kepada:
a.
orang
perseorangan warga negara Indonesia;
b.
korporasi
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c.
koperasi
yang dibentuk oleh Masyarakat.
Pasal 22B
Ayat ini menjelaskan tentang
pengajuan izin pengelolaan.
Pasal
22B UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Orang perseorangan warga Negara
Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus
memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional.”
Pasal 22C
Ayat
ini menjelaskan tentang syarat dan ketentuan lebih lanjut izin lokasi.
Pasal
22C UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Ketentuan lebih lanjut mengenai
syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 23
Pada
ayat ini terjadi beberapa perubahan kata agar sesuai dengan kaidah EYD.
Sehingga
pasal 23 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan
ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di
dekatnya.
(2)
Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan
sebagai berikut:
a.
konservasi;
b.
pendidikan
dan pelatihan;
c.
penelitian
dan pengembangan;
d.
budi
daya laut;
e.
pariwisata;
f.
usaha
perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;
g.
pertanian
organik;
h.
peternakan;
dan/atau
i.
pertahanan
dan keamanan negara.
(3)
Kecuali
untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a.
memenuhi
persyaratan pengelolaan lingkungan;
b.
memperhatikan
kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan
c.
menggunakan
teknologi yang ramah lingkungan.
Pasal 26A
Pasal 26A menjelaskan tentang izin
pemanfaatan pulau-pulau kecil.
Pasal
26 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman
modal asing harus mendapat izin Menteri.
(2)
Penanaman
modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan
nasional.
(3)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari
bupati/wali kota.
(4)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
badan
hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b.
menjamin
akses publik;
c.
tidak
berpenduduk;
d.
belum
ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e.
bekerja
sama dengan peserta Indonesia;
f.
melakukan
pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g.
melakukan
alih teknologi; dan memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada
luasan lahan.
Pasal 30
Pasal
30 menjelaskan tentang status zona inti. Perbedaan dari UU no 27 tahun 2007
yaitu UU no 1 tahun 2014 lebih jelas dan lebih terperinci dijelaskan pada
setiap ayat.
Pasal
30 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Perubahan
peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi
ditetapkan oleh Menteri dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2)
Menteri
membentuk Tim untuk melakukan penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat,
akademisi, serta praktisi perikanan dan kelautan.
(3)
Perubahan
peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ber
Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis, ditetapkan oleh
Menteri dengan persetujuan DPR.
(4)
Tata
cara perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 50
(1)
Menteri
berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan
Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Kawasan Konservasi
Nasional.
(2)
Gubernur
berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan
kewenangannya.
(3)
Bupati/wali
kota berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 51
Pasal
51 menjelaskan tentang kewenangan Menteri. Perbedaannya pada UU no 1 tahun
2014, kata HP-3 dihapuskan.
Sehingga
pasal 51 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Menteri
berwenang:
a.
menerbitkan
dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di
sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis terhadap perubahan lingkungan;
dan
b.
menetapkan
perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2)
Ketentuan
mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan izin serta perubahan status zona
inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 60
Pasal
60 membahas tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam mengelola wilayah
pesisir. Pada UU no 27 tahun 2007 masih menggunakan kata “HP-3”, sedangkan UU
no 1 tahun 2014 menghapus kata tersebut dan menggantinya dengan kata “izin
lokasi” dan “izin pengelolaan”.
Sehingga
pasal 60 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak
untuk:
a.
memperoleh
akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan;
b.
mengusulkan
wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c.
mengusulkan
wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
d.
melakukan
kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e.
memperoleh
manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.
memperoleh
informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g.
mengajukan
laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa
dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
h.
menyatakan
keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu
tertentu;
i.
melaporkan
kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
j.
mengajukan
gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
k.
memperoleh
ganti rugi; dan
l.
mendapat
pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Masyarakat
dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a.
memberikan
informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.
menjaga,
melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.
menyampaikan
laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d.
memantau
pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.
melaksanakan
program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
Pasal 63
Terjadi penambahan
‘Pemerintah Daerah’. Hal ini dimaksudkan bahwa Pemerintah Daerah juga berperan
dalam memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Pasal ini
juga menjelaskan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam mengelola masyarakat pesisir.
Pasal
63 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberdayakan Masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannya.
(2)
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui
peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan,
infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
(3)
Dalam
upaya Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan,
menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam:
a.
pengambilan
keputusan;
b.
pelaksanaan
pengelolaan;
c.
kemitraan
antara Masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d.
pengembangan
dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e.
pengembangan
dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung
dan daya tampung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.
pemanfaatan
dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g.
penyediaan
dan penyebarluasan informasi lingkungan; dan
h.
pemberian
penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman Pemberdayaan Masyarakat diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 71
Pada pasal ini terdapat
penggantian dari HP-3 menjadi izin lokasi. Pasal ini menjelaskan tentang
pelanggaran dan sanksi administratif.
Sehingga
pasal 71 UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
(1)
Pemanfaatan
ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
yang tidak sesuai dengan Izin Lokasi yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan
sementara, dan/atau pencabutan Izin Lokasi.
(3)
Pemanfaatan
sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai
dengan Izin Pengelolaan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(4)
Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a.
peringatan
tertulis;
b.
penghentian
sementara kegiatan;
c.
penutupan
lokasi;
d.
pencabutan
izin;
Pasal 75
Pada pasal 75 menjelaskan
tentang sanksi yang didapatkan apabila memanfaatkan pesisir tanpa memiliki izin
lokasi. Perbadaan dari UU no 27 tahun 2007 yaitu sanksi yang didapatkan.
Sehingga pasal 75 UU no 1
tahun 2014 berbunyi :
“Setiap Orang
yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian
pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 75A
Pasal 75A ditambahkan untuk
memperjelas sanksi yang didapat akibat memanfaatkan wilayah pesisir tanpa
memiliki izin lokasi. Perbedaan dari UU no 27 tahun 2007 yaitu sanksi yang
didapatkan.
Sehingga pasal 75A UU no 1
tahun 2014 berbunyi :
“Setiap Orang yang memanfaatkan
sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki
Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Pasal 78A
Pasal 78A
ditambahkan untuk memperjelas wewenang Menteri.
Pasal
78A UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Kawasan konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan
Menteri.”
Pasal 78B
Pasal 78B
ditambahkan untuk memperjelas pemberlakuan izin lokasi.
Sehingga
pasal 78B UU no 1 tahun 2014 berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan
Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.”
Analisis :
UU
PWP-PPK dibuat untuk mengatur pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam perairan
dan pemanfaatan wilayah pesisir. Didalamnya diatur tentang hak untuk mengelola
kawasan pesisir atau biasa disebut HP-3 (Hak Pengusahaan Perairaan Pesisir).
HP-3 dibuat sebagai izin untuk melakukan pemanfaatan perairan pesisir. Namun
pada praktiknya, HP-3 sering disalahgunakan. Dengan aturan yang tertulis dalam
UU no 27 tahun 2007, HP-3 dapat dijadikan jaminan utang. Hal ini dapat
memungkinkan terjadinya pelanggaran dan jual-beli HP-3. Perpanjangan jangka
waktu HP-3 yang dapat dilakukan 2 tahap dengna masing-masing tahap 20 tahun
dapat membuat oknum tertentu dapat menguasai wilayah pesisir tertentu selama
bertahun-tahun.
Dengan
adanya berbagai kemungkinan pelanggaran yang dapat terjadi dalam UU no 27 tahun
2007, diberlakukan beberapa perubahan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat. Perubahan tersebut kemudian disahkan menjadi UU no 1 tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Secara garis besar, perubahan dalam UU
PWP-PPK antara lain :
1. Penghapusan
HP-3 menjadi sistim perizinan yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan.
2. Keikutsertaan
Masyarakat dalam penyusunan rencana-rencana pengelolaan wilayah pesisir.
3. Memperjelas
wewenang Menteri dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir.
4. Berbagai
perubahan-perubahan yang dibuat agar memenuhi kaidah EYD dan untuk mempertegas
maksud dari pasal dan ayat yang disebutkan.
UU no 1
tahun 2014 hanya berisi pasal-pasal yang dirubah dari UU no 27 tahun 2007.
Sedangkan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan tidak ditampilkan dalam UU
no 1 tahun 2014. Namun pasal-pasal tersebut masih berlaku, sehingga untuk
mendapat penjelasan mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
perlu melihat dua UU yaitu UU no 27 tahun 2007 dan UU no 1 tahun 2014.
Muhammad Darwin H.
12/333765/TK/40107
Sumber :
UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU no 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil